Oleh Dr. Mushthafa as Siba`i
Disiarkan pada hari Jum`at : 5 Ramadhan 1374 (7
Maret 1954)
Apakah manusia adalah sosok egois yang
mencintai dirinya sendiri dan mementingkan kepentingan dirinya sendiri di atas
kepentingan orang lain? Ataukah ia adalah sosok yang mementingkan orang lain di
bandingkan dirinya dan mendahulukan kepentingan orang lain dibandingkan
kepentingan dirinya sendiri?
Ini adalah kajian yang menghabiskan banyak
lembaran kajian psikologi, ilmu akhlak dan sosiologi. Kebanyakan pakar ilmu
pengetahuan hampir sepakat bahwa secara alami manusia adalah egois dan
mementingkan dirinya sendiri, dan ia melihat kepentingan orang lain melalui
kepentingan dirinya sendiri. Bahkan ada yang berpendapat lebih jauh lagi, bahwa
pengorbanan yang dilakukan oleh seseorang adalah tidak lebih dari suatu bentuk
egoisme yang dibungkus dengan topeng. Orang yang mengorbankan dirinya dalam
medan perjuangan untuk membela aqidahnya atau mempertahankan negaranya, ia
melakukan hal itu untuk mendapatkan pahala Allah atau pujian manusia, atau juga
kehormatan negeri yang ia tempati sehingga ia dapat mengambil manfaat dari
kehormatan negeri tersebut. Namun demikian, di samping itu semua, manusia pada
dasarnya adalah makhluk zoon politicon, yang cenderung untuk saling
bekerjasama, memilih untuk bermasyarakat dibandingkan menyendiri, dan hal itu
pada gilirannya akan mendorong dirinya untuk merelakan sebagian haknya untuk
orang lain, sehingga dari kerjasamanya dengan mereka itu ia dapat mengambil
manfaat berupa perwujudan kehormatan dan kepentingannya. Oleh karena itu,
beberapa macam pengorbanan dan pendahuluan kepentingan orang lain, menjadi
bagian dari keharusan dalam bangunan masyarakat yang tanpa keberadaannya,
masyarakat tidak akan dapat hidup dengan bahagia. Jika Anda tidak membatasi
kebebasan Anda saat berkendaraan di jalan raya dengan rambu-rambu jalan,
niscaya Anda tidak akan dapat berkendaraan di jalan dengan aman, baik bagi jiwa
Anda maupun bagi tubuh Anda. Jika Anda tidak membatasi perilaku Anda dalam bermu`amalah, dan menahan
tangan Anda dari harta manusia, nisacya Anda tidak akan dapat menjamin
keuntungan dan keamanan atas harta dan kekayaan Anda. Oleh karena itu, semangat
undang-undang adalah dari satu segi untuk menjamin hak individu, dan dari segi
lain untuk membatasi kebebasannya. Tunduk kepada undang-undang ini adalah suatu
bentuk pendahuluan kepentingan orang lain dan pengorbanan. Dalam pandangan
syari`ah, ia mungkin tidak mendapatkan pahala, dan dalam pandangan ahli etika
dan moral ia barangkali tidak layak mendapatkan pujian, namun demikian hal itu
adalah jaminan bagi keberaturan hidup dalam masyarakat yang mulia dan bahagia.
Sedangkan mendahulukan kepentingan orang lain
di atas kepentingan diri Anda yang lebih dari itu, inilah yang dipuji oleh
syari`ah dan oleh prinsip-prinsip akhlak. Ia adalah sikap mendahulukan
kepentingan orang lain yang berdasarkan kesadaran pribadi, bukan karena paksaan
undang-undang. Dan tidak didorong oleh kepentingan duniawi atau kenikmatan yang
instan. Malah dalam tindakannya itu ia memilih untuk tidak mendapatkan daripada
mendapatkan kesenangan pribadi, memilih payah daripada santai, memilih lapar
daripada kenyang, dan memilih mati daripada hidup. Keindahan pengorbanannya itu
tidak dirusak oleh keinginan untuk mendapatkan pahala atau pujian, karena
pahala dan pujian itu adalah suatu perkara maknawi yang diharapkan dari alam
ghaib. Siapa yang memberikan sesuatu manfaat material kepada manusia dengan
harapan mendapatkan balasan maknawi, maka ia berarti telah memberikan suatu
bukti bagi jiwa yang lebih banyak memberi dibandingkan mengambil. Sungguh, hal
ini adalah kemuliaan dan ketinggian yang paling utama dan petunjuk kebaikan dan
keutamaan yang paling kuat.
Kita berhutang budi dalam setiap kenikmatan
hidup material maupun non-material terhadap orang-orang yang telah berkorban
dan mendahulukan kepentingan orang lain. Kita berhutang dalam menikmati
fasilitas listrik, mobil, kapal terbang dan radio terhadap para ilmuan jenius
yang menghabiskan waktu bertahun-tahun dalam laboratorium dan rumah mereka dan
terus meneliti siang malam hingga mereka dapat memberikan kepada manusia hasil
dari kerja keras dan penderitaan yang mereka tanggung. Berupa kenikmatan,
pengetahuan, dan kesehatan yang dinikmati oleh milyaran manusia di Timur dan
Barat.
Kita berhutang budi dalam bidang kelezatan ilmu
pengetahuan kepada para pengarang, seperti sastrawan, ulama, muhadditsin,
mufassirin dan filosof yang dengan tekun menghabiskan usia mereka untuk menulis
dan memenuhi lembaran-lembaran kertas dengan hikmah dan ilmu pengetahuan.
Sementara orang lain sedang nyenyak tidur atau sedang sibuk dengan syahwat
mereka. Ungkapan Az Zamakhsyari berikut ini menggambarkan apa yang mereka
lakukan itu:
Aku bergadang untuk mempelajari dan meneliti
ilmu pengetahuan, lebih ni`mat bagiku Dibandingkan bersenda gurau dan bersenang-senang dengan wanita yang cantik Aku bergerak kesana kemari untuk memecahkan masalah ilmu pengetahuan Lebih enak dan lebih menarik seleraku dibandingkan hidangan yang lezat Kita berhutang budi dalam memanfaatkan tanah
negeri kita, hasilnya, dan lembaga-lembaga sosialnya, terhadap orang-orang tua
kita yang telah mengolahnya dengan usaha dan jerih payah mereka, serta mereka
tebus dengan darah dan arwah mereka, sehingga negeri ini sampai kepada kita
dalam keadaan mulia dan bermartabat.
Kita juga berhutang budi dalam masalah aqidah
dan agama kita yang kita banggakan ini, dan yang kita terus bicarakan tentang
ni`mat Allah SWT kepada kita atas hidayah dan ajaran etika-Nya yang dianugerahkan
kepada kita melalui agama ini, kepada generasi salaf saleh yang menanggung
bermacam kesulitan dan derita dalam membawa risalah ini pada masa pertamanya,
dan yang telah mengorbankan darah dan arwah mereka menghadapi musuh-musuh Islam
untuk menyampaikan agama ini kepada orang-orang setelah mereka, mereka pula
yang telah menghilangkan banyak rintangan yang disebarkan oleh para pencela,
pengingkar dan pendusta agama ini. Para syuhada Masihiah di tiga abad pertama
dari kelahiran Al Masih a.s adalah orang-orang yang telah berjasa kepada
seluruh penganut Masihi yang merasakan kelezatan tunduk kepada Al Masih dan
ajaran-ajarannya. Dan para syuhada Islam pada masa Rasul dan pada masa
khalifah-khalifah setelah beliau, adalah orang-orang yang telah berjasa kepada seluruh
umat manusia atas ni`mat Islam dan peradabannya yang abadi.
Demikianlah, kita sebagai generasi masa kini
telah berhutang budi kepada generasi-genersai sebelumnya dalam seluruh apa yang
kita ni`mati saat ini sebagai hasil dari pengorbanan, perjuangan dan sikap
mereka yang mendahulukan kepentingan orang lain. Maka sepatutnyalah jika kita
melanjutkan rangakaian pengorbanan mereka itu sehingga kita dapat menyampaikan
keni`matan ini kepada generas-generasi berikutnya seperti yang telah dilakukan
oleh generasi-generasi sebelum kita. Apakah generasi kita saat ini menghargai
makna pengorbanan dan mendahulukan kepentingan orang lain? Apakah generasi kita
berakhlak seperti ini, yang telah diperintahkan oleh syari`at Allah dan
aturan-aturan akhlak?
Sebenarnya, kehidupan yang kita jalani saat ini
hampir telah menghapus sisa-sisa akhlak manusiawi yang indah ini. Kemanapun
Anda berjalan dan di manapun Anda perhatikan sisii-sisi kehidupan sosial kita
saat ini, niscaya Anda akan menemukan egoisme yang telah mengalahkan segala
hal. Anda dapati egoisme seorang Bapak yang menguasainya dalam hubungannya
dengan anak-anaknya, egoisme suami/isteri yang menguasainya dalam hubungannya
dengan isteri/suaminya, egoisme pemimpin yang menguasainya dalam hubungannya
dengan masyarakat yang ia pimpin, egoisme orang-orang kaya dan orang berpunya
yang amat tampak dalam sikap mereka terhadap orang-orang miskin, para pekerja
dan para petani.
Egoisme telah menguasai seluruh elemen bangsa.
Kalangan pedagang hanya mementingkan keuntungan perdagangannya, kalangan petani
hanya mementingkan p ertaniannya, dan kalangan pegawai pemerintah hanya
mementingkan pekerjaannya; egoisme inilah yang telah mencabut rasa percaya satu
sama lain di antara masyarakat, yang memutuskan ikatan kasih sayang antar anggota
keluarga, dan melemahkan ikatan kemanusiaan antar manusia. Sehingga seorang
tetangga menjauh dengan tetangganya, dan seorang sahabat menghindar dari
sahabatnnya, pada saat kita sedang amat membutuhkan kerjasama untuk menghadapi
kesulitan-kesulitan dan problem kehidupan. Namun demikian, dalam masyarakat
kita masih ada sisa-sisa sipat mementingkan orang lain yang memberikan harapan
akan lenyapnya egoisme ini dalam masyarakat kita.
Yaitu mereka yang telah menyerahkan jiwa mereka
untuk menjadi syahid dalam membebaskan Palestina, mereka yang telah
mengorbankan arwah mereka dalam perjuangan kemerdekaan negeri kita, mereka yang
telah membantu lembaga-lembaga sosial dengan dana dan usaha mereka, dam mereka
yang menyediakan diri mereka sebagai pembawa obor reformasi masyarakat saat
masyarakat berada dalam kealpaan mereka. Mereka itu adalah pionir-pionir
pembawa semangat pengorbanan dan sipat mementingkan orang lain. Kita berharap
semoga bilangan mereka itu terus bertambah secara kualitas dan kuantitas dengan
berjalannya waktu.
Pembaca yang
budiman!
Kita berada di bulan yang mulia, yang mengajak
kepada kebaikan dan mendorong kepada sikap mementingkan orang lain. Oleh karena
itu, marilah kita memperhatikan prinsip-prinsip sikap ‘iitsar’ mementingkan orang
lain dalam aqidah kita, dan pengaruh hal itu dalam sejarah kita. Dari situ kita
dalam dapat menyingkap semerbak kemanusiaan yang mulia, yang pada saat ini
telah ditutupi oleh ambisi dan hawa nafsu.
Saat Rasulullah Saw dan para sahabat beliau
melakukan hijrah dari Mekkah ke Madinah, beliau mempersaudarakan antara kaum
mu`minin dari kalangan Muhajirin dengan kaum mu`minin dari kalangan Anshar.
Yaitu dengan menjadikan bagi setiap individu dari Anshar seorang saudara dari
kalangan Muhajir. Maka saudara dari kalangan Anshar itu membawa saudaranya yang
berasal dari kalangan Muhajirin ke rumahnya, untuk kemudian membagi dua semua
yang ia miliki dengan saudaranya dari muhajirin itu; ia membagi dua hartanya,
pakaiannya, makanannya, kendaraannya, dan memperlakukannya di hadapan dirinya
dan keluarganya sebagai seorang kekasih terhadap kekasihnya. Ia tidak
segan-segan membantunya, dan memberikan nasihat serta uluran tangan. Sehingga
kalangan muhajirin melupakannya penderitaan mereka yang telah meninggalkan
kampung halamannya, keluarganya dan kekayaannya. Sehingga Al Quran mencatat
fenomena iitsaar ‘mementingkan orang lain’ yang terpuji ini untuk dijadikan
pelajaran abadi bagi generasi-generasi berikutnya. Bacalah firman Allah SWT
berikut ini:
“Dan orang-orang yang telah menempati Kota
Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin),
mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh
keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang
Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka
sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa
yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang
beruntung.” (Al Hasyr: 9)
Allah berfirman tentang orang-orang yang
mengorbankan arwah mereka dalam membela kebenaran dan kebaikan, sebagai
berikut:
“Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang
gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan
mendapat rezki.” (Ali Imraan: 169.)
Dan berfirman tentang hamba-hamba-Nya yang
melakukan kebaikan tidak karena tujuan mendapatkan pujian dan balasan dari
orang lain, sebagai berikut:
“Dan mereka memberikan makanan yang disukainya
kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan. Sesungguhnya Kami
memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami
tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih.” (Al
Insaan: 8-9)
Saat Rasulullah Saw memutuskan untuk melakukan
hijrah dari rumah beliau yang telah dikepung oleh kaum Musyrikin dan mereka
berniat untuk membunuh beliau, tempat tidur beliau digantikan oleh anak paman
beliau, Ali bin Abi Thalib r.a. Ia memilih untuk menjadi korban bagi Rasulullah
Saw, dan menjadikan tubuhnya sebagai tameng hidup menghadapi pedang-pedang
kalangan Musyrikin yang siap memotong tubuhnya dan menghilangkan nyawanya.
Dengan begitu, ia telah rela mengorbankan dirinya bagi Rasulullah Saw pembawa
hidayah bagi seluruh umat manusia.
Saat manusia mengalami derita kelaparan dan
kekeringan pada masa Umar r.a., Umar hanya sempat tidur sekejap dan hanya dapat
beristirahat sebentar. Seluruh perhatiannya ditujukan untuk menghilangkan
bencana kelaparan itu dari rakyatnya. Usahanya itu terus membebaninya, sehingga
tubuhnya berubah menjadi hitam, dan melemah. Sehingga orang yang melihat
dirinya seperti itu ada yang berkata: “seandainya bencana kelaparan ini terus
berlangsung beberapa bulan lagi, niscaya Umar bisa mati karena sedih dan
menderita melihat penderitaan rakyatnya”.
Suatu hari datang kafilah pembawa barang dari
Mesir yang membawa daging, minyak samin, makanan, dan bahan pakaian, kemudian
ia membagi-bagikan semua itu sendiri kepada masyarakat, dan tidak mau
sedikitpun mengambil bagian. Ia kemudian berkata kepada kepala rombongan
kafilah: “aku mengundangmu untuk makan dirumahku nanti”. Si kepala kafilah
langsung membayangkan makanan yang lezat-lezat. Karena ia menyangka bahwa
makanan yang dikonsumsi oleh Amirul Mu`minin tentunya lebih baik dan lebih
lezat dari makanan rakyat biasa. Maka dengan semangat ia datang ke rumah Umar,
sambil menahan lapar, haus dan rasa capai. Di sana, Umar segera menyiapkan
makanan baginya. Namun yang membuat sang tamu tercengang adalah ternyata
makanan yang dikonsumsi oleh Amirul Mu`minin bukanlah makanan yang berupa
daging, minyak saming, daging bakar maupun manis-manisan. Makanannya ternyata
tak lebih dari potongan-potongan roti hitam yang kering, dengan berlauk
sepiring minyak. Hal itu membuat sang tamu amat terkejut, maka ia segera
bertanya kepada Umar: “mengapa engkau melarangku untuk makan bersama orang lain
berupa makanan dari daging dan minyak samin, malah engkau menghidangkan
kepadaku makanan yang sama sekali tidak layak dikonsumsi ini?”. Umar menjawab:
“Aku hanya memberikan makanan kepadamu dengan makanan yang biasa aku konsumsi”.
Ia kembali bertanya: “apa yang menghalangimu untuk memakanan makanan yang sama
dikonsumsi oleh masyarakat, padahal engkau sendiri yang telah membagi-bagikan
daging kepada masyarakat?”. Umar menjawab: “aku telah berjanji kepada diriku
sendiri untuk tidak memakan minyaki samin dan daging hingga kaum Muslimin
seluruhnya telah kenyang dengan kedua macam makanan itu”.
Alangkah hebatnya sipat iitsaar ‘mementingkan
orang lain’ yang telah diperlihatkan oleh Umar itu bukan? Dan apakah ada
bandingnya sikapnya itu di dunia ini?
Sejarah telah menceritakan kepada kita
sumbangsih dan pengorbanan yang telah diberikan oleh kaum wanita Paris pada
saat perang tahun tujuh puluhan (abad 19). Hingga mereka dengan suka rela
menyerahkan perhiasan-perhiasan mereka untuk membantu membayar denda yang
dikenakan oleh Jermah atas penduduk Paris sebagai tebusan untuk membebaskan
mereka dari kepungan militer. Sikap kaum wanita Paris adalah suatu contoh yang
bagus tentang pendahuluan kepentingan umum dan pengorbanan. Namun, apakah
tingkat pengorbanan mereka itu mampu menyamai besarnya pengorbanan kalangan
wanita kaum Muslim pada masa Rasulullah Saw, saat Rasulullah Saw mendorong
mereka untuk memberikan sumbangan dan shadaqah, dan secara spontan seluruh kaum
wanita mencopot segala perhiasan mereka hingga tidak tersisa sedikitpun dan
mereka berikan kepada Rasulullah Saw, untuk kemudian beliau pergunakan harta
tersebut bagi kepentingan kaum Muslimin. (HR. Bukhari dan Muslim).
Sumbangan pada saat perang untuk menghadapi
gempuran musuh adalah suatu tindakan yang amat terpuji. Namun memberikan
sumbangan pada saat damai sebagai sumbangsih bagi proyek-proyek kemaslahatan
umum sambil mengharapkan balasan Allah SWT adalah suatu tindakan yang lebih
terpuji lagi. Tidak aneh jika jasa kaum wanita kita yang mendermakan
perhiasan-perhiasan mereka pada saat damai, adalah lebih abadi dan lebih
terpuji dari tindakan wanita Paris yang telah mendermakan perhiasan mereka pada
saat perang.
Para pembaca
yang budiman
Di antara wanita kita yang saleh, adalah wanita
ahli ibadah yang dikenal dalam sejarah dengan nama Rabi`ah `Adawiah. Di antara
untaian kalimat munajatnya kepada Allah SWT yang ia lantunkan dalam ibadahnya
adalah kalimat-kalimat yang abadi ini:
“Ya Allah, aku beribadah kepada-Mu bukan karena
takut terhadap api neraka-Mu, juga bukan karena mengharapkan surga-Mu. Namun
hal itu aku lakukan karena memang Engkau berhak untuk disembah”. Dan ia sering
menyenandungkan sya`ir ini:
Aku mencintai-Mu dengan dua cinta: cinta hawa
nafsu
Dan cinta karena Engkau memang layak untuk dicintai
Dan cinta karena Engkau memang layak untuk dicintai
Lantas, mengapa kita tidak dapat mencapai
ketinggian jiwa dan keagungan sikap mementingkan orang serta pengorbanan
seperti yang dicapai oleh Rabi`ah `Adawiyah; yaitu kita mengerjakan kebaikan
semata karena hal itu baik, dan untuk kepentingan umum manusia, dengan tidak
mengharapkan pujian dan balasan dari mereka, namun hal itu kita lakukan semata
karena Allah SWT ?. Mengapa kita tidak melakukan kebaikan bagi saudara-saudara
kita, tetangga-tetangga kita dan manusia seluruhnya, kita mengingat kebutuhan
mereka sebelum kebutuhan kita, dan kepentingan mereka sebelum kepentingan kita,
tanpa menunggu bayaran dan balasan?
Wahai manusia, ingatlah selalu firman Allah SWT
berikut ini:
“Dan mereka memberikan makanan yang disukainya
kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan. Sesungguhnya Kami
memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami
tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih.” (Al
Insaan: 8-9).
1xbet korean | Legalbet
ReplyDelete1xbet korean 【 Walg.io】. , ,1xbet, ,1xbet, ,1xbet, ,1xbet, 1xbet 후기 ,1xbet, ,1xbet, ,1xbet, ,1xbet, ,1xbet, 1xbet, ,1xbet.