Aku
berbicara lewat pakaianku (Dick Hebdige) Kalimat di atas mewakili apa yang
tengah terjadi di sekeliling kita. Nabi saw. mengkritik pola hidup demikian
dengan sabdanya,” Celaka hamba dirham, celaka hamba dinar, celaka hamba
pakaian.” Kita tengah dibelit jaring-jaring konsumerisme yang sedemikian
menggurita. Ikuti artikel berikut ini!
DALAM kehidupan modern dewasa ini ketika
semangat kapitalisme telah menjelma menjadi semacam jaring yang mengepung segala
tindakan dan perilaku manusia, praktik konsumsi tidak lagi dipahami hanya
sekadar memenuhi kebutuhan dasar manusia, tetapi juga dimengerti sebagai urusan
yang berhubungan erat dengan pemuasan unsur-unsur simbolik manusia. Dalam pengertian ini, konsumsi akhirnya menjadi tanda yang
dipelintir artinya bagi peningkatan status, prestise, kelas, dan simbol sosial
tertentu. Kegiatan berbelanja di Mal, makan di restoran yang menyediakan makanan
cepat saji, kursus kepribadian dan berpakaian adalah contoh kecil bahwa aspek
kepemilikan/memiliki apa pun yang serbabaru dan canggih pada dasarnya bukan
untuk pemenuhan kebutuhan dasar.
Pengertian konsumsi yang absurd ini
dalam kehidupan modern menjadi arena sosial yang menyedot dan menarik minat
energi pelampiasan. Ia menjelma menjadi medan kesadaran yang harus segera dipenuhi
dan dipuaskan kebutuhannya. Identitas diri di hadapan lingkungan sosial yang
demikian diperebutkan dan dibentuk oleh produk-produk rayuan melalui citra-citra
tertentu yang ditawarkan lewat berbagai media massa: Supaya Anda kelihatan jantan dan macho
Anda harus mengisap rokok tertentu. Supaya perempuan kelihatan cantik,
pergunakanlah kosmetik merek tertentu. Agar Anda dikategorikan sebagai manusia
yang tidak ketinggalan zaman, milikilah atribut artis yang lagi ngetop!
Manusia modern adalah manusia yang
dahaga karenanya mereka sangat bernafsu untuk memburu segala sesuatu yang
berhubungan dengan prestise dan upaya peningkatan status sosial. Membanjirnya produk-produk yang menawarkan pembentukan citra diri
melalui seni bujuk rayu media massa bukan meredakan gairah, tapi malah semakin memacu semangat dan
prinsip untuk secepat mungkin menggerakkan tungkai menjadi manusia modern.
Faktanya, usaha manusia modern untuk senantiasa berpacu dalam memenuhi segala
hasratnya malah menimbulkan tegangan dan dorongan baru yang harus dikejar dan
dipenuhi yaitu "keinginan".
Keinginan adalah sesuatu yang paradoks: setelah
suatu keinginan terpenuhi, timbul keinginan lain untuk segera diselesaikan dan
dipenuhi hajatnya. Namun, dalam kerangka kehidupan modern, keinginan haruslah
menjadi sesuatu yang tak berujung dan harus selalu diposisikan sebagai pesona
yang dapat menyedot hasrat. Alasannya, dengan cara inilah kapitalisme dapat
memelihara dan menjaga kelanggengan hidup seluruh produknya.
***
DALAM tilikan kesadaran agama, yang memprioritaskan
kebersahajaan dan yang menganjurkan hidup tidak berlebihan, logika kapitalisme
yang mengemas pemuasan hawa nafsu sebagai dalil yang tak tergugat, telah dengan
sungguh-sungguh ikut terlibat untuk mengalihkan arah setiap usaha pencarian
manusia dari nilai-nilai transendental, spiritual, moral, menuju pencarian
identitas yang melulu ditakar berdasarkan hubungan-hubungan kekuasaan,
kesenangan, dan rayuan.
Logikanya adalah jika segala hawa nafsu
disalurkan demi pemenuhan kenikmatan, ia dapat menjadi semacam dinamo yang
pengoperasiannya bisa dilakukan menjadi tanpa batas sehingga akhirnya ia
menjelma menjadi sesuatu yang tidak realistis dan membahayakan eksistensi
manusia itu sendiri. Oleh karena itu, sangatlah wajar jika kaum sufi, misalnya,
memandang manusia modern sebagai manusia yang dibutakan matanya yang hanya
tertarik pada kulit ketimbang terpesona untuk mencari dan menemukan isi.
"Apakah engkau tidak perhatikan orang yang telah
menjadikan hawa nafsu sebagai tuhannya. Apakah
engkau akan dapat menjadi pelindungnya. Atau apakah engkau mengira bahwa
kebanyakan mereka itu mendengar atau memehami? Mereka itu hanyalah seperti
binatang ternak bahkan lebih sesat lagi." Qs. Al Furqan: 43-44)
Dapat dimengerti jika logika hawa nafsu
sanggup memalingkan dan menyamarkan setiap upaya pencarian manusia terhadap
nilai-nilai luhur sebab sebagaimana menurut Gilles Deleuze dan Felix Guattari,
logika hawa nafsu yang mewabah akibat bekerjanya spirit kapitalisme diproduksi
oleh apa yang mereka sebut sebagai "mesin hawa nafsu"--sebuah peristilahan
psikoanalisis yang mereka gunakan untuk menjelaskan mekanisme produksi
"ketidakcukupan" dalam diri seseorang. Keinginan untuk "memiliki" bukan
disebabkan "ketidakcukupan alamiah" yang ada dalam diri kita, melainkan hanya
untuk memenuhi pencarian identitas yang tidak henti-hentinya. Oleh karena itu,
identitas manusia modern adalah identitas yang dibangun oleh proses konsumsi dan
proses komoditi dari citraan dan rayuan-rayuan media massa.
Identitas sebagaimana dikatakan Jonathan
Rutheford merupakan satu mata rantai masa lalu dengan hubungan-hubungan sosial,
kultural, dan ekonomi di dalam ruang dan waktu satu masyarakat
hidup. Dalam kaitannya dengan hubungan sosial,
masyarakat konsumerisme mengaitkan identitas dengan pola perubahan sosial.
Masyarakat dipandang tidak lebih dari struktur mekanis. Akibatnya, melahirkan
kesulitan bagi manusia untuk memahami hubungan organik sistem kebudayaan yang
ada. Dalam kondisi itu manusia digiring kearah keterasingan atau alienasi.
Situasi keterasingan ini mengakibatkan keterkungkungan manusia di hadapan
realitas.
Kebudayaan yang berdasarkan pada "logika
hawa nafsu" tersebut menggambarkan bahwa revolusi kebudayaan tak lebih dari
sebuah revolusi dalam penghambaan diri bagi pelepasan hawa nafsu
belaka. Iklan-iklan di televisi misalnya, ia beroperasi
lewat pengosongan tanda-tanda dari pesan dan maknanya secara utuh sehingga yang
tersisa adalah penampakan semata. Sebuah wajah merayu yang penuh atribut dan
mike-up adalah wajah yang kosong makna sebab penampakan artifisial dan
kepalsuannya menyembunyikan kebenaran diri. Apa yang ditampilkan dari kepalsuan
dan kesemuan tersebut menjadi sebuah rayuan bagi para pemirsa. Hingga yang
muncul dari sebuah rayuan, bukanlah sampainya pesan dan makna-makna, melainkan
munculnya keterpesonaan, ketergiuran, dan gelora hawa nafsu: gelora seksual,
gelora belanja, gelora berkuasa.
Kemajuan teknologi sebagai media untuk
menuntun pola hidup dan kebudayaan telah mengondisikan manusia pada sebuah ruang
penjara elektronik dan penjara rumah apalagi dengan berkembangnya teknologi
televisi. Media massa ini pada akhirnya tidak bisa disalahkan
total karena media adalah pembentuk kesadaran sosial yang pada akhirnya
menentukan persepsi manusia terhadap dunia dan masyarakat tempat mereka hidup.
Sisi yang lain, karena rayuan tidak berhenti pada kebenaran tanda, melainkan
beroperasi melalui pengelabuan dan kerahasiaan, maka ia menjadi sebuah wacana
yang menenggelamkan identitas diri ke arah identitas yang dibangun berdasarkan
citraan dan rayuan-rayuan semata.
Berdasarkan fakta tersebut, otonomi
subyektif manusia terkikis habis oleh kecenderungan-kecenderungan yang mengubur
aspek kesadaran manusia terhadap makna hidupnya.
Pasalnya, makna hidup adalah potensi diri yang diaktualkan lewat perilaku
sehari-hari. Identitas diri yang dibangun berdasarkan citraan-citraan dan
rayuan-rayuan semata bukan lahir berdasarkan potensi diri sebab potensi diri
adalah wujud identitas yang menampakkan diri apa adanya dihadapan realitas. Jika
demikian, dapat dikatakan bahwa kecenderungan-kecenderungan yang mengubur aspek
kesadaran manusia pada masyarakat konsumer adalah "hawa nafsu". Logika hawa
nafsu berdasar pada, ketika sesuatu dilakukan, dibeli dan dinikmati, itu bukan
demi kebutuhan sebab kebutuhan adalah energi murni organik. Dorongan makan,
minum apa adanya ketika buka puasa tiba, itu menggambarkan bahwa pemenuhan
kebutuhan adalah energi murni organik yang tidak bisa ditunda karena jauh dari
Mc Donnald atau Hoka-Hoka Bento misalnya.
***
DI era
konsumerisme, kebutuhan dilandasi oleh nilai-nilai prestise, life style dan
citraan ketimbang nilai utilitas. Logika yang mendasarinya bukan kebutuhan
(need), melainkan logika hasrat (desire). Hasrat atau hawa nafsu dengan begitu
dicipta seakan menjadi kebutuhan yang tiada hentinya. Jika hasrat atau hawa
nafsu pada akhirnya menjadi kebutuhan, kebutuhan manusia adalah pemenuhan hawa
nafsu. Jean Baudrillard melihat kebutuhan tersebut bagai sebuah jaring
laba-laba, "Apapun yang mengalir melalui mereka (konsumer), apa pun menarik
mereka bagai magnet, akan tetapi mengalir melalui mereka tanpa meninggalkan
bekas apa-apa".
Hal ini dapat kita lihat pada sekelompok
masyarakat tertentu yang mempunyai budaya konsumsi berlebihan. Kehadiran hasrat yang ditopang oleh kebutuhan pada kaum selebritis
dalam fenomena bulan ini misalnya, menenggelamkan subjek yang dikuasainya ke
dalam tanda, simbol, atau nilai-nilai yang bersifat tumpang tindih bahkan tampak
kontradiktif dari realitas yang sebenarnya. (Ahmad Imanuddin)
0 comments:
Post a Comment
Silahkan Komentarnya Gan ^_^
Jangan SPAM Ya