KISAH TELADAN DOA YANG SELALU DIKABULKAN
(Helvy Tiana Rosa)
Pagi itu, 3 Mei 1998, dari Jakarta, saya diundang 
mengisi seminar di IAIN
Sunan Gunung Djati, Bandung.  Saya duduk di 
bangku kedua dari depan sambil
menunggu kedatangan pembicara lain, Mimin Aminah, 
yang belum saya kenal.
Jam sembilan tepat, panitia menghampiri saya dan 
memperkenalkan ia yang baru
saja tiba.  Saya segera berdiri menyambut 
senyumnya yang lebih dulu merekah.
Ia seorang yang bertubuh besar, ramah, dalam 
balutan gamis biru dan jilbab
putih yang cukup panjang.  Kami berjabat tangan 
erat, dan saat itu tegas
dalam pandangan saya dua kruk (tongkat penyangga 
yang dikenakan-nya) serta
sepasang kaki lemah dan kecil yang ditutupi kaos 
kaki putih.  Sesaat batin
saya hening, lalu melafazkan kalimat takbir dan 
tasbih.
Saat acara seminar dimulai, saya mendapat giliran 
pertama.  Saya bahagia
karena para peserta tampak antusias.  Begitu juga 
ketika giliran Mimin tiba.
Semua memperhatikan dengan seksama apa yang 
disampaikannya.
Kata-kata yang dikemukakannya indah dengan 
retorika yang menarik.
Wawasannya luas, pengamatannya akurat.
Saya tengah memandang wajah dengan pipi merah 
jambu itu saat Mimin berkata
dengan nada datar.  "Saya diuji Allah dengan 
cacat kaki ini seumur hidup
saya."
Ia tersenyum.  "Saya lahir dalam keadaan seperti 
ini.  Mungkin banyak orang
akan pesimis menghadapi keadaan yang demikian, 
tetapi sejak kecil saya telah
memohon sesuatu pada Allah.  Saya berdoa agar 
saat orang lain melihat saya,
tak ada yang diingat dan disebutnya kecuali 
Allah," Ia terdiam sesaat dan
kembali tersenyum.  "Ya, agar mereka ingat Allah 
saat menatap saya.  Itu
saja."
Dulu tak ada orang yang menyangka bahwa ia akan 
bisa kuliah.  "Saya kuliah
di Fakultas Psikologi," katanya seraya 
menambahkan bahwa teman-teman pria
dan wanita di Universitas Islam Bandung-tempat 
kuliahnya itu-senantiasa
bergantian membantunya menaiki tangga bila kuliah 
diadakan di lantai dua
atau tiga.  Bahkan mereka hafal jam datang serta 
jam mata kuliah yang
diikutinya.  "Di antara mereka ada yang 
membawakan sebelah tongkat saya, ada
yang memapah, ada juga yang menunggu di atas," 
kenangnya.
Dan civitas academica yang lain?  Menurut Mimin 
ia sering mendengar orang
menyebut-nyebut nama Allah saat menatapnya.  
"Mereka berkata: Ya Allah, bisa
juga ya dia kuliah," senyumnya mengembang lagi.  
"Saya bahagia karena mereka
menyebut nama Allah.  Bahkan ketika saya berhasil 
menamatkan kuliah,
keluarga, kerabat atau teman kembali memuji 
Allah.  Alhamdulillah, Allah
memang Maha Besar.  Begitu kata mereka."
Muslimah bersahaja kelahiran tahun 1966 ini juga 
berkata bahwa ia tak pernah
ber-mimpi akan ada lelaki yang mau 
mempersuntingnya.  "Kita tahu, terkadang
orang normal pun susah mendapatkan jodoh, apalagi 
seorang yang cacat seperti
saya.  Ya tawakal saja."
Makanya semua geger, ketika tahun 1993 ada 
seorang lelaki yang saleh, mapan
dan normal melamarnya.  "Dan lagi-lagi saat 
walimah, saya dengar banyak
orang menyebut-nyebut nama Allah dengan takjub.  
Allah itu maha kuasa, ya.
Maha adil!  Masya Allah, Alhamdulillah, dan 
sebagainya," ujarnya penuh
syukur.  Saya memandang Mimin dalam.  Menyelami 
batinnya dengan mata
mengembun.
"Lalu saat saya hamil, hampir semua yang bertemu 
saya, bahkan orang yang tak
men-genal saya, menatap takjub seraya lagi-lagi 
mengagungkan asma Allah.
Ketika saya hamil besar, banyak orang menyarankan 
agar saya tidak ke bidan,
melainkan ke dokter untuk operasi.  Bagaimana pun 
saat seorang ibu
melahirkan otot-otot panggul dan kaki sangat 
berperan.  Namun saya pasrah.
Saya merasa tak ada masalah dan yakin bila Allah 
berkehendak semua akan
menjadi mudah.
Dan Alhamdulillah, saya melahirkan lancar dibantu 
bidan," pipi Mimin memerah
kembali.  "Semua orang melihat saya dan mereka 
mengingat Allah.  Allahu
Akbar, Allah memang Maha Adil, kata mereka 
berulang-ulang."
Hening.  Ia terdiam agak lama.
Mata saya basah, menyelami batin Mimin.  
Tiba-tiba saya merasa syukur saya
teramat dangkal dibandingkan nikmatNya selama 
ini.  Rasa malu menyergap
seluruh keberadaan saya.  Saya belum apa-apa.  
Yang selama ini telah saya
lakukan bukanlah apa-apa.
Astaghfirullah.  Tiba-tiba saya ingin segera 
turun dari tempat saya duduk
sebagai pembicara sekarang, dan pertamakalinya 
selama hidup saya, saya
menahan airmata di atas podium.  Bisakah orang 
ingat pada Allah saat
memandang saya, seperti saat mereka memandang 
Mimin?
Saat seminar usai dan Mimin dibantu turun dari 
panggung, pandangan saya
masih kabur.  Juga saat seorang (dari dua) 
anaknya menghambur ke pelukannya.
Wajah teduh Mimin tersenyum bahagia, sementara 
telapak tangan kanannya
berusaha membelai kepala si anak.  Tiba-tiba saya 
eperti melihat anak saya,
yang selalu bisa saya gendong kapan saya suka.  
Ya, Allah betapa banya
kenikmatan yang Kau berikan padaku.
Ketika Mimin pamit seraya merangkul saya dengan 
erat dan berkata betapa dia
men-cintai saya karena Allah, seperti ada suara 
menggema di seluruh rongga
jiwa saya.  "Subhanallah, Maha besar Engkau ya 
Robbi, yang telah memberi
pelajaran pada saya dari pertemuan dengan hambaMu 
ini.  Kekalkanlah
persaudaraan kami di Sabilillah.  Selamanya.  
Amin."
Mimin benar.  Memandangnya, saya pun ingat 
padaNya.
Dan cinta saya pada Sang Pencipta,
yang menjadikan saya sebagaimana adanya, semakin 
mengkristal.


















 
 
 
 
 
0 comments:
Post a Comment
Silahkan Komentarnya Gan ^_^
Jangan SPAM Ya