Friday, 8 July 2011

Ingat Allah Saat Melihat Kekurangan Orang Lain

KISAH TELADAN DOA YANG SELALU DIKABULKAN
(Helvy Tiana Rosa)

Pagi itu, 3 Mei 1998, dari Jakarta, saya diundang
mengisi seminar di IAIN
Sunan Gunung Djati, Bandung. Saya duduk di
bangku kedua dari depan sambil
menunggu kedatangan pembicara lain, Mimin Aminah,
yang belum saya kenal.

Jam sembilan tepat, panitia menghampiri saya dan
memperkenalkan ia yang baru
saja tiba. Saya segera berdiri menyambut
senyumnya yang lebih dulu merekah.
Ia seorang yang bertubuh besar, ramah, dalam
balutan gamis biru dan jilbab
putih yang cukup panjang. Kami berjabat tangan
erat, dan saat itu tegas
dalam pandangan saya dua kruk (tongkat penyangga
yang dikenakan-nya) serta
sepasang kaki lemah dan kecil yang ditutupi kaos
kaki putih. Sesaat batin
saya hening, lalu melafazkan kalimat takbir dan
tasbih.

Saat acara seminar dimulai, saya mendapat giliran
pertama. Saya bahagia
karena para peserta tampak antusias. Begitu juga
ketika giliran Mimin tiba.
Semua memperhatikan dengan seksama apa yang
disampaikannya.
Kata-kata yang dikemukakannya indah dengan
retorika yang menarik.
Wawasannya luas, pengamatannya akurat.

Saya tengah memandang wajah dengan pipi merah
jambu itu saat Mimin berkata
dengan nada datar. "Saya diuji Allah dengan
cacat kaki ini seumur hidup
saya."

Ia tersenyum. "Saya lahir dalam keadaan seperti
ini. Mungkin banyak orang
akan pesimis menghadapi keadaan yang demikian,
tetapi sejak kecil saya telah
memohon sesuatu pada Allah. Saya berdoa agar
saat orang lain melihat saya,
tak ada yang diingat dan disebutnya kecuali
Allah," Ia terdiam sesaat dan
kembali tersenyum. "Ya, agar mereka ingat Allah
saat menatap saya. Itu
saja."

Dulu tak ada orang yang menyangka bahwa ia akan
bisa kuliah. "Saya kuliah
di Fakultas Psikologi," katanya seraya
menambahkan bahwa teman-teman pria
dan wanita di Universitas Islam Bandung-tempat
kuliahnya itu-senantiasa
bergantian membantunya menaiki tangga bila kuliah
diadakan di lantai dua
atau tiga. Bahkan mereka hafal jam datang serta
jam mata kuliah yang
diikutinya. "Di antara mereka ada yang
membawakan sebelah tongkat saya, ada
yang memapah, ada juga yang menunggu di atas,"
kenangnya.

Dan civitas academica yang lain? Menurut Mimin
ia sering mendengar orang
menyebut-nyebut nama Allah saat menatapnya.
"Mereka berkata: Ya Allah, bisa
juga ya dia kuliah," senyumnya mengembang lagi.
"Saya bahagia karena mereka
menyebut nama Allah. Bahkan ketika saya berhasil
menamatkan kuliah,
keluarga, kerabat atau teman kembali memuji
Allah. Alhamdulillah, Allah
memang Maha Besar. Begitu kata mereka."

Muslimah bersahaja kelahiran tahun 1966 ini juga
berkata bahwa ia tak pernah
ber-mimpi akan ada lelaki yang mau
mempersuntingnya. "Kita tahu, terkadang
orang normal pun susah mendapatkan jodoh, apalagi
seorang yang cacat seperti
saya. Ya tawakal saja."

Makanya semua geger, ketika tahun 1993 ada
seorang lelaki yang saleh, mapan
dan normal melamarnya. "Dan lagi-lagi saat
walimah, saya dengar banyak
orang menyebut-nyebut nama Allah dengan takjub.
Allah itu maha kuasa, ya.
Maha adil! Masya Allah, Alhamdulillah, dan
sebagainya," ujarnya penuh
syukur. Saya memandang Mimin dalam. Menyelami
batinnya dengan mata
mengembun.

"Lalu saat saya hamil, hampir semua yang bertemu
saya, bahkan orang yang tak
men-genal saya, menatap takjub seraya lagi-lagi
mengagungkan asma Allah.
Ketika saya hamil besar, banyak orang menyarankan
agar saya tidak ke bidan,
melainkan ke dokter untuk operasi. Bagaimana pun
saat seorang ibu
melahirkan otot-otot panggul dan kaki sangat
berperan. Namun saya pasrah.
Saya merasa tak ada masalah dan yakin bila Allah
berkehendak semua akan
menjadi mudah.

Dan Alhamdulillah, saya melahirkan lancar dibantu
bidan," pipi Mimin memerah
kembali. "Semua orang melihat saya dan mereka
mengingat Allah. Allahu
Akbar, Allah memang Maha Adil, kata mereka
berulang-ulang."

Hening. Ia terdiam agak lama.
Mata saya basah, menyelami batin Mimin.
Tiba-tiba saya merasa syukur saya
teramat dangkal dibandingkan nikmatNya selama
ini. Rasa malu menyergap
seluruh keberadaan saya. Saya belum apa-apa.
Yang selama ini telah saya
lakukan bukanlah apa-apa.

Astaghfirullah. Tiba-tiba saya ingin segera
turun dari tempat saya duduk
sebagai pembicara sekarang, dan pertamakalinya
selama hidup saya, saya
menahan airmata di atas podium. Bisakah orang
ingat pada Allah saat
memandang saya, seperti saat mereka memandang
Mimin?

Saat seminar usai dan Mimin dibantu turun dari
panggung, pandangan saya
masih kabur. Juga saat seorang (dari dua)
anaknya menghambur ke pelukannya.
Wajah teduh Mimin tersenyum bahagia, sementara
telapak tangan kanannya
berusaha membelai kepala si anak. Tiba-tiba saya
eperti melihat anak saya,
yang selalu bisa saya gendong kapan saya suka.
Ya, Allah betapa banya
kenikmatan yang Kau berikan padaku.

Ketika Mimin pamit seraya merangkul saya dengan
erat dan berkata betapa dia
men-cintai saya karena Allah, seperti ada suara
menggema di seluruh rongga
jiwa saya. "Subhanallah, Maha besar Engkau ya
Robbi, yang telah memberi
pelajaran pada saya dari pertemuan dengan hambaMu
ini. Kekalkanlah
persaudaraan kami di Sabilillah. Selamanya.
Amin."

Mimin benar. Memandangnya, saya pun ingat
padaNya.
Dan cinta saya pada Sang Pencipta,
yang menjadikan saya sebagaimana adanya, semakin
mengkristal.

0 comments:

Post a Comment

Silahkan Komentarnya Gan ^_^
Jangan SPAM Ya