Friday, 8 July 2011

Cukup Mencintai

Cukup Mencintai

Ibuku tidak bicara dengan ayahku. Ia telah tidak
bicara kepadanya selama
lima tahun, dan untuk itu, ayahku betul-betul
bersyukur.

Aku menangis ketika untuk terakhir kalinya Ibu
bicara kepadanya. Aku
menyaksikan mereka bertukar kata, walaupun
tidak dapat mendengarnya.

Ayah berbisik, Ibu juga berbisik.
Keduanya membentuk siluet di depan cahaya
jendela di ujung lorong yang
panjang itu. Ayah membungkuk ke atas kereta
dorong tempat Ibu dibaringkan,
dahinya ditempelkan ke dahi ibuku. Tulisan "Ruang
Bedah"
pada pintu di belakang mereka membentuk judul
untuk siluet yang mereka
buat . Tangan saling berpegangan seakan-akan
percaya bahwa dengan begitu
mereka s=
aling memegang hati yang lainnya. Seperti
ketika mereka baru pertama kali bertemu, seperti
sepasang kekasih yang
putus asa karena dipaksa berpisah.

Dipaksa berpisah pada hari penentuan mati atau
hidup.
Mereka telah membuat keputusan bersama,
dioperasi atau mati.
dioperasi atau mati. Keduanya telah hidup dalam
kebersamaan selama empat
puluh tahun terakhir.

Ibuku dengan penyakit yang memutus aliran darah
ke otaknya. Itu merusak
kehidupannya dan hanya memberinya waktu tiga
tahun.

Hidupnya dapat diperpanjang jika menjalani
pembedahan. Dua belas orang
pemberani telah mendahuluinya dioperasi tetapi
hanya tiga yang berhasil.

Aku menyaksikan proses pengambilan keputusan
mereka, keduanya dalam
suasana doa menghadapi kematian. Ibuku ingin
hidup, ingin mencoba.
Menjalani pergolakan apa pun sampai menemukan
kedamaian.

Sungguh seorang wanita pemberani; kami tiga
bersaudari yang berhimpun di
seputar pembaringannya merasakan desakan
waktu ke arah penentuan nasibnya
untuk esok hari. Sulit bagi kami untuk tersenyum,
sulit juga
untuk pulang, takut kalau "selamat malam" kami
menjadi "selamat tinggal."

Ayah tetap tinggal untuk berjaga dan berdoa. Sulit
bagi kami untuk
meninggalkannya malam itu, sulit untuk
membayangkan bahwa ia akan
sendirian
. Tapi ia mengingatkan kami bahwa ia tidak akan
sendirian, sekurangnya
untuk malam itu, ia didampingi oleh Sayangnya.

Akhirnya pagi datang menjelang. Kami berkumpul
dan berdoa. Kami mengecup
ibu kami, memeluk ayah kami kemudian mengikuti
kereta dorong sampai
diberitahu hanya seorang di antara kami boleh
terus menemani.

Ayahku terus berjalan di sampingnya sebagaimana
selalu ia lakukan. Mereka
dua orang yang selalu berdampingan menghadapi
segala cobaan.

Ibuku yatim piatu sejak usia muda dan terus
pindah dari tempat satu ke
tempat lain. Ayahku paling muda dari sembilan
bersaudara yang
hidup dalam kemiskinan.
Keduanya telah saling menemukan rumah tinggal
bagi yang lain.

Kami anak-anak mendapatkan kasih sayang di
rumah mereka. Diberi banyak hal
yang tidak pernah mereka dapatkan selama masa
kanak-kanak mereka sendiri:
keamanan, pengasuhan, bimbingan moral.

Kami tahu kami diciptakan melalui cinta kasih
mereka tetapi cinta mereka
merupakan suatu kesatuan yang terpisah dari
kami, sebuah lingkaran yang
utuh dengan sendirinya.

Aku menyaksikan ciuman perpisahan mereka.
Ibuku didorong melewati pintu,
sendirian. Ayahku, yang membelakangi aku,
menaruh tangannya pada pintu,
mendoakan dia, memohonkan kekuatan dan
harapan bagi
wanita yang ada di baliknya.
Ia berbalik dan berjalan perlahan-lahan ke arahku.

Cahaya matahari terbit menerangi wajahnya dan
aku dapat menyaksikan
kedalaman cinta lelaki ini. Cintanya merupakan
pengorbanan diri yang
besar. Cinta yang begitu besar sehingga ia
bersedia menanggung derita
ketika mengantarnya sendirian.

Dan dalam naungan cinta kami, ayah berjalan
sendiri selama dua pekan
berikutnya ketika menunggu Ibu bangun dari koma,
dan selama bulan-bulan
rehabilitasi yang penuh dengan keraguan.

Pada akhirnya, ibuku kehilangan suaranya tetapi ia
memenangkan perang
dalam mempertahankan hidupnya.

Ia telah tidak bicara dengan ayahku selama lima
tahun, dan untuk itu, ia
bersyukur sekali.

0 comments:

Post a Comment

Silahkan Komentarnya Gan ^_^
Jangan SPAM Ya