Friday, 8 July 2011

Marah

Subject: MArah

Assalamu'alaikum wr wb

Dapet dari milis FLP
---------------------

Assalamu'alaikum,

Hari ini saya marah. Padahal saya bukan pemarah. Nggak
percaya?:)  Tanya deh sama orang-orang dekat saya...
promosi sendiri ya? hehe
Boleh percaya boleh tidak, meskipun bukan berarti saya
gak pernah marah. Pada dasarnya saya temperamen keras
(sama lah sama Bu HTR, mungkin asalnya sama ya? Hehe
lagi)

Sewaktu hijrah, ada satu hadist qudsi yang sangat saya
sukai, dan saya jadikan pedoman dalam hidup saya.
Bunyinya begini lebih kurang,

"Satu tegukan yang paling dicintai Allah, adalah orang
yang meneguk/menelan kembali kemarahan yang sudah
hampir muntah dari lisannya"

Jaman-jaman pertama hijrah, wah...saya memang
kebetulan waktu itu masih mencari2 dan membuat daftar,
apa ya yang Allah cintai? Hingga saya bisa lebih
dicinta? Dan apa yang dia benci, hingga saya bisa
menghindari?

Nah, akhirnya saya memutuskan untuk tidak cepat
menjadi marah. Tapi lalu saya mikir, apa gak ada
konsep marah yang islami?
Lalu saya ketemu konsep taushiyah... untuk menyalurkan
kemarahan, tentunya kemarahan yang beradab.
Anak yang sudah 7 tahun tidak sholat, bentuk kemarahan
ortu, dibolehkan memukul pantat.
Artinya, akhirnya saya berpikir 'marah' perlu, ketika
kita harus marah.
Lalu kepada siapa kita marah?

Rasulullah pun menegur Abu Dzar kala memanggil Bilal
dengan sebutan anak budak hitam.

Tapi Rasulullah pernah menyuruh sahabat untuk
membiarkan dan TIDAK MARAH kepada seorang arab badui
yang kencing di mesjid.

Wah, kalo dipikir2 dua kasus di atas, saya sempat aneh
juga. Masalahnya kasus kedua yang lebih berat kok
ditolerir? Mengencingi rumah Allah, apa tidak berat
itu? Dibandingkan memanggil dengan sebutan
buruk/kurang menyenangkan kepada saudara... Rasulullah
malah menegur lebih keras.

Melalui perjalanan keislaman saya, akhirnya saya
mengerti, kita marah bukan pada orang yang tidak
berilmu/bodoh. Justru kita marah, pada orang yang kita
berharap banyak padanya (karena kelayakan2 yang
terdapat dalam dirinya), namun melakukan kesalahan,
yang seharusnya gak boleh lagi dilakukan oleh orang
dengan kelayakan demikian.
Dibandingkan Arab badui tersebut, tentulah pemahaman
keislaman Abu Dzar jauh-jauh lebih tinggi. Hingga
seharusnya kesalahan tersebut tidak dilakukannya.

Kedua, Rasul bisa lebih bebas mengekspresikan teguran
kepada Abu Dzar dan memilih berdiam kepada kesalahan
Arab Badui tadi, juga karena kedekatan Rasul yang
lebih kepada sahabat tersebut.

Kepada orang-orang yang kita sayang, kepada mereka
yang kita rasa kenal kita, dan percaya pada maksud
baik 'kemarahan' kita, biasanya kita lebih bebas
mengekspresikan kemarahan tersebut.

Yang berikutnya, saya sendiri melihat kenapa Rasul
perlu menegur sahabat Abu Dzar dalam hal ini, karena
beliau dengan konditenya pada saat itu, adalah calon
dai juga, atau pemberi contoh pada masyarakat sekitar,
sehingga tentunya agar di masa depan ia tidak akan
mengulangi kesalahan tersebut di masyarakat. Harapan
ini berbeda kepada orang Arab Badui tersebut. Pada
orang-orang dengan pemahaman terbatas, kita pun akan
lebih banyak memberikan  permakluman dan toleransi.
Maklum...mereka gak ngerti. Lebih kurang begitu.
Atau...karena belum mengenal dekat, kita harus pintar2
cari momen dan bicara super hati-hati untuk sekedar
memberi nasehat.


[Bersambung....]



Wassalamu'alaikum wr wb

0 comments:

Post a Comment

Silahkan Komentarnya Gan ^_^
Jangan SPAM Ya